John F. Purba ||| Dhevie Charo||| Jona Idolanta||| Warta Irfa



IRFA FM 89,4 MHz


IRFA FM 89,4 MHz
SUZUKI
KABANJAHE

Marketing/Sales
085270687597 (John F.Purba)

Garut Mrnda Sekin

 photo Depan.gifPuisi berjiwa bilang-bilang (puisi klasik orang Karo yang hampir lenyap berisi ratap tangis) "Garut Menda Sekin" (GMS) merupakan puisi dalam bahasa Karo saya yg pertama (2003). Temanya hasil renungan terhadap perambahan hutan yg terjadi di Tanah Karo. Seorang teman pernah mengindikasikan tafisrannya bhw puisi itu mengandung ajakan untuk "si takilen" (konflik fisik) dengan perambah hutan. Tafsiran seperti itu adalah sah-sah saja. Begitu sebuah puisi dipublikasikan maka makna puisi itu menjadi milik publik. Artinya, makna dan kadar keindahannya (estetika) bergantung sepenuhnya pada penafsiran masing-masing individu. Salah satu ciri pokok puisi ialah kata-kata cenderung dalam arti konotatif sehingga terjadi multi tafsir. Di situlah terletak kekuatan puisi.
Bukanlah maksud untuk menggiring pembaca ke arah pengertian yang saya kehendaki tentang isi GMS. Melainkan sekedar memberikan beberapa kata kunci yang barangkali dapat membantu untuk meyakinkan bahwa puisi itu sama sekali tidak menganjurkan tindakan kekerasan.

Kata kunci pertama, judul puisi itu sendiri: garut menda sekin. Kalau memang dimaksudkan untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan, katakanlah berperang secara fisik, akan lebih tepat bila judul itu misalnya "garut menda kelewang atau lembing. Pedang atau lembing merupakan perkakas perang di masa lampau. Pertanyaan yang muncul adalah sekin itu melambangkan apa? Mengapa sekin? Bukan pedang, tombak atau lembing? Lalu garut, sebagai kata kerja garut, berarti mempertajam. Apa yang dipertajam?

Kata kunci kedua, sekin si melias. Sekin memberikan asosiasi kekerasan karena sekin adalah benda tajam. Sedang kata melias mengungkapkan sifat-sifat yang baik, lemah-lembut, penyayang dsb. Ada pertentangan atau paradoks. Kata melias menyerap atau melemahkan karakter sekin sebagai senjata tajam. Kemudian Belaskenlah kata alu saber.... Ula megangsa gelah terbegi bage nindu. Semakin teranglah di dalam puisi itu tidak ada terkandung anjuran mengenai kekerasan karena lirik itu mengandung kelemah-lembutan. Jangan ucapkan terlalu keras, kalau terlalu keras nanti tidak dapat didengar, memperkuat tidak adanya unsur kekerasan itu tadi.

Kemudian, larik sekin si melias tinadingndu ndube. Kata ndube dapat menunjukkan bahwa si nini sudah meninggal dunia. Dengan demikian belaskenlah kata alu saber...Ula megangsa gelah terbegi bage nindu menunjukkan kata-kata itu pesan atau pedah nini yang diucapkan semasa hidupnya. Biasanya nasihat atau wasiat dari orang yang sudah meninggal dunia mempunyai makna yang sakral.

Yang menjadi inti dari puisi itu reaksi atau sikap prihatin atas terjadinya perambahan liar hutan Karo. Tapi reaksi itu tidak dengan tindak kekerasan atau menghunus senjata tajam. Setidaknya, sejauh isinya, GMS tidak mengindikasikan adanya hal semacam itu.

Larik e maka ermomo aku kerna kalak si merdang erbiar-biar, rende aku kerna tangis-tangis kalak sirani menggambarkan keadaan para petani yang menyedihkan. Normalnya, masa panen merupakan saat yang menggembirakan hati petani. Tapi di sini tidak demikian. Mereka menangis. Karena hutan sudah dibabat dan cuaca sudah tidak menentu lagi dan panen pun besar kemungkinan gagal.

Berikut puisi Garut Menda Sekin itu:

Enggo kal mbulaken nini o niningku
Batang-batang inganku tertande
Inganku cilinggem bekasndu nuan ndube
Erdebam kal sorana serko pusuhku
Ah ole..... ah ole nina erjagar-jagar

Terdo paduka karatina buah anggur
I enggerna bir beligaina isi gajutna si galang
Ah ole... ah ole...
Tawakal ia sorana megang galang megang

Garut menda sekin o nini
Sekin tinadingndu ndube
Belaskenlah kata alu saber
Ula megangsa gelah terbegi nindu

Emaka ermomo aku kerna kalak si merdang erbiar-biar
Rende aku kerna tangis-tangis kalak si rani
Kugarut menda sekin
Sekin si melias tinadingndu ndube

[Medio Maret 2003, Uncle Iting]


Diberdayakan oleh Blogger.